Kematian, Surga Dan Ayat-Ayat Tahlil - Bagian (01) - Episode 4 Perjalanan Menuju Keabadian Selanjutnya bila manusia mencapai kehidupan ketiga, kualitas hidupnya lebih tinggi lagi. Rasa, gerak, dan pengetahuannya semakin banyak dan potensi-potensinya pun semakin berkembang. Demikianlah tahap-tahap yang dilalui manusia. Ia memang pernah mati dalam arti tidak memiliki wujud di mana pun -- termasuk di pentas bumi. Tetapi begitu ia mengalami kehidupan pertama, sejak itu pula ia tidak lagi mengalami ketiadaan. MAUT Allah swt. telah menetapkan umur kehidupan di pentas bumi bagi seluruh makhluk. Siapapun tidak dapat menambah atau mengurangi jatahnya. Kehidupan Anda adalah tarikan nafas yang terhitung jumlahnya. Setiap berlalu sekali tarikan, terkurangi pula bilangannya. Kematian adalah pintu, setiap orang pasti melaluinya. Sungguh gaib apa yang terdapat di belakang pintu itu. Demikian dua kalimat bersayap dari dua orang pujangga. Jangan duga manusia mengetahui segala sesuatu, apalagi dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak sekali pertanyaan yang diajukan oleh orang awam atau cendekiawan tentang manusia, yang tidak dapat dijawab hingga kini oleh cendekiawan. Sebab terdapat wilayah-wilayah dalam diri kita yang sungguh tertutup rapat. Ini pada saat keberadaannya di pentas bumi, apalagi sesudah kematiannya. Apakah tidur? Bagaimana terjadinya? Mimpi yang terjadi ketika tidur, semuanya adalah pertanyaan yang belum terjawab tuntas. Kalau tidur pun belum diketahui secara tuntas, apalagi maut. Maut adalah suatu yang gaib, walaupun semua mengakuinya pasti. Apa yang terjadi sesudah kematian pun gaib, bahkan lebih gaib lagi. Manusia menyadari bahwa ada satu kekuatan yang menjadikannya dapat bergerak, bahkan lebih jauh dari jasmaninya, dapat membawanya terbayang jauh meninggalkan tempat keberadaan jasmaninya. Itu dialami saat tidur atau saat dia mengkhayal dan mengembalikan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dari sini dia yakin bahwa dalam dirinya ada sesuatu yang sangat berharga tapi berbeda dengan badannya. Setelah manusia melihat kondisi kematian, memandang jenazah tidak lagi mampu menggerakkan badannya, lalu membusuk bahkan punah, maka dia sadar bahwa ada sesuatu yang hilang dari orang mati yang baru saja dilihatnya penuh gerak dan rasa itu. Di sanalah manusia mencari apa dan mengapa itu, sambil mencari apa yang terjadi pada manusia yang mati itu. Pengembaraan manusia mencari bermula dari kematian pertama yang dialami jenisnya. Ini terus berlanjut, bahkan sampai kini pun, manusia belum menemukan jawaban yang tuntas. Apa yang ditemukan lebih banyak berupa khayalan dan dugaan, baik jalan yang ditempuhnya adalah jalan filsafat, ilmu dan teknologi, maupun takhayul dan dongeng. Akal manusia hingga kini belum puas. Begitu dia menyimpulkan sesuatu yang dianggapnya jawaban benar, tak lama kemudian ia sadar bahwa yang ditemukannya cuma fatamorgana. Syukurlah, agama mengungkap sedikit tentang misteri itu, walau harus diakui banyak yang diinformasikan agama atau atas nama agama itu, tak mudah dicerna akal. Kendati demikian, perlu diingat bahwa mempercayai hal-hal yang diinformasikan agama dalam bidang metafisika, walau tidak dipahami oleh akal, sama sekali tidak berarti merendahkan akal atau mengabaikan peranan nalar. Sebab kepercayaan yang dituntut Islam, bukanlah hal-hal yang bertentangan dengan akal. Pembenaran akal, atau pengetahuan, bukan syarat bagi lahir dan kukuhnya iman. Ketika agama menuntut iman terhadap hal-hal yang tidak dimengerti akal, ketika itu pada hakikatnya ia hanya menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar serta memfungsikan sesuatu sesuai fungsi yang harus diembannya. Yang mengingkari persoalan-persoalan metafisika yang diinformasikan Allah, walau berada di luar jangkauan akal, sungguh telah menganiaya dirinya sendiri. Sebab ia mengabaikan potensi kalbu, yang dapat mengantarnya untuk percaya dan beriman. Bahkan dengan pengingkarannya itu, sesungguhnya ia pun tengah menganiaya akal dengan mengatasnamakannya untuk menolak objek yang memang berada di luar jangkauannya. Ini mukadimah yang perlu diingat sebelum lebih jauh berbicara tentang maut dan apa yang akan terjadi sesudahnya dalam rangka perjalanan manusia menuju keabadian. Al-Qur’an menamai maut antara lain dengan al-yaqi>n (keyakinan); Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu al-yaqi>n. (Q.,s. Al-Hijr [15]: 99). Kematian adalah keyakinan, karena ia merupakan sesuatu yang pasti, tidak disertai secuil keraguanpun. Jika Anda bertanya kepada seseorang tentang kehadiran maut, tidak seorangpun meragukannya. Setiap saat kematian terlihat, walau banyak pula orang yang lengah menyangkut kedatangannya. Sayyidina Ali r.a. bersabda: “Saya tidak pernah melihat suatu batil (yang akan punah) tetapi dianggap hak (pasti dan akan langgeng) sebagaimana halnya kehidupan dunia, dan tidak pernah pula melihat sesuatu yang hak (pasti) tetapi diduga batil (lenyap tanpa wujud) seperti halnya maut.” Dalam salah satu khutbahnya, Sayyidina Ali berkata: “Maut bagaikan hanya keniscayaan bagi selain kita. Hak di dunia ini bagaikan hanya wajib terhadap selain diri kita. Ketika kita mengantar jenazah, kita bagaikan mengantar siapa yang segera akan kembali menemui kita. Kita meletakkan mereka di kuburan mereka, kita makan warisan mereka, bagaikan kita akan kekal selama-lamanya. Kita telah melupakan semua peringatan, dan merasa aman dari semua petaka, padahal kita hanya bertamu di dunia ini, dan apa yang kita miliki hanya pinjaman yang harus dikembalikan.” Ayat al-Hijr di atas menggambarkan datangnya kematian dengan kalimat “sampai datang kepadamu keyakinan”. Itu berarti bukan manusia yang pergi menemuinya, karena memang semua manusia enggan mati. Kalaupun dia berusaha mengakhiri hidupnya, tidak akan berhasil jika ajal belum datang menemuinya. Namun demikian, suka atau tidak, cepat atau lambat, maut pasti datang menemui kita. Kematian ibarat anak panah lepas dari busurnya, akan terus mengejar sasarannya. Begitu ia mengenai sasaran, saat itu pula kematian yang ditujunya tiba. Kecepatan anak panah itu jauh melebihi kecepatan melaju makhluk hidup, sehingga betapapun kencang ia berlari, dan sekukuh apapun benteng perlindungannya, anak panah pasti menemuinya. Di mana saja kamu berada, (wahai makhluk yang bernyawa -- yang taat maupun yang durhaka) kematian (yakni malaikat yang bertugas mewafatkan kamu) akan mendapatkan kamu (yakni mengejar dan akhirnya mencabut nyawa kamu), kendati pun kamu di dalam benteng-benteng (yakni benteng yang berlapis-lapis, dan) yang tinggi lagi kokoh, (dan atau yang dibuat amat rapat sehingga tak ada celah untuk menembusnya. Atau walau masing-masing kamu berada dalam satu benteng yang berbeda dengan benteng makhluk hidup lain). Demikian maksud firman Allah swt dalam Q.,s. An-Nisaa’[ 4]:78).